AL-QUR’AN & RASIONALISME


AL-QUR’AN & RASIONALISME
I. Pendahuluan
Al Qur’an, tidak lain adalah sebuah kitab suci, merupakan salah satu dari kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT melalui wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. Kitab yang disampaikan kepada Rasul Allah terakhir ini, adalah bagian dari dari induk Al Kitab di sisi Allah ( Kitab Lauhul Mahfuzh ).1 Isinya memuat petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan untuk orang yang percaya kepadanya, berupa : terutama aqidah, syariah dan akhlak. Al Qur’an itu sendiri – sebagaimana kitab-kitab suci yang lain ( Taurat, zabur dan Injil ) – diturunkan pada suatu periode sejarah, artinya dibelenggu oleh jarak ruang dan waktu tertentu ketika Nabi Muhammad Saw menjalankan masa kerasulannya ditanah Arab. Meskipun diturunkan di tanah Arab, akan tetapi pada hakekatnya Al Qur’an adalah peringatan untuk seluruh umat manusia berlaku sepanjang masa, artinya Al Qur’an untuk mengingatkan seluruh manusia (melalui proses kesadarannya) akan Kemahaesaan dan Kemahabesaran Allah SWT yang menciptakan semesta alam jagad raya.
Dengan diturunkannya Al Qur’an ini, Allah memberikan petunjuk kepada umat manusia tentang kandungan rahasia alam kehidupan yang mengelilingi manusia. Sedemikian jauh, Al Qur’an berisikan garis besar pemahaman akan hakekat kemanusiaan dan alam sekitar kepada manusia, apabila manusia sanggup menggunakan akalnya (rasio) dan tidak hanya menggunakan hati nurani yang digunakan untuk menyatakan keyakinannya terhadap tanda-tanda kebesaran Allah. Penggunaan akal atau rasio ini pada dasarnya adalah untuk memperteguh hati nurani (fitrah/dhamir) dalam dada manusia dalam meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Al Qur’an bahwa tidaklah diciptakan segala sesuatu itu sia-sia.
Manusia, sosok makhluk kreasi Sang Pencipta Semesta Alam, dikaruniai kemampuan berfikir dan mengembangkan akalnya dalam memahami hakekat dirinya sendiri dan alam sekitarnya.2 Hal inilah pada dasarnya yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.Kecerdasan akalnya ini telah menempatkan manusia untuk memiliki kebebasan dalam menentukan segala yang dikehendaki dalam kehidupannya di dunia berikut pertanggungjawabannya. Dengan akalnya manusia sanggup melakukan berbagai perubahan dan menciptakan kemajuan yang berarti bagi kemanusiaan dan dunia yang melingkupinya. Adanya kesadaran bahwa dengan menggunakan akal, manusia dapat bergerak dinamis (tidak statis) untuk mengikuti perubahan zaman dan kemajukan peradaban.
Untuk kelebihan yang dimilikinya ini, manusia dapat disebut sebagai makhluk rasional, yang mampu mempergunakan akal pikirannya.3 Artinya, dapat menerima segala sesuatu sesuai dengan kapasitas rasionalnya. Dengan akal pikirannya, manusia berusaha mengungkapan segala rahasia yang ada di alam semesta untuk dapat didefinisikan, supaya dapat dimengerti dan juga mengandung pemahaman yang menyeluruh dan mendetail. Pada akhirnya, dapat memunculkan suatu pengetahuan tentang objek yang sedang dipikirkannya. Dalam hal ini tidak hanya menunjuk pada pengetahuan tentang bukti-bukti empiris yang dapat dikenali oleh panca indera, akan tetapi akal juga dapat mengetahui hakekat mendasar dari objek tersebut, yaitu melahirkan filsafat. Kemudian, dengan adanya pengakuan terhadap manusia sebagai makhluk rasional muncul aliran pikiran tentang rasionalisme.4
Dari anggapan yang telah dikemukakan diatas, kemudian muncul pertanyaan; Benahkah Al Qur’an sudah dijadikan pijakan berfikir dan merupakan sumber bagi akal untuk menemukan hakekat kehidupan alam semesta ? Untuk pertanyaan ini akan dijabarkan terlebih dahulu mengenai tradisi intelektual Islam terbatas pada pemikir- pemikir besar Islam yang menganut paham rasionalisme. Hal ini ditujukan untuk melihat sejauh mana perkembangan rasionalisme dikalangan umat Islam dan juga pengaruh pemikir Islam yang menentang paham tersebut. Kemudian berlanjut pada pembahasan tentang kaitan Al Qur’an sendiri terhadap paham rasionalisme.
II. Rasionalisme dan Tradisi Intelektual Islam
Perbincangan mengenai rasionalisme bagi kalangan pemikir Islam telah menjadi wacana tersendiri dan seringkali menimbulkan ajang perdebatan. Hal ini diawali terutama oleh Al Kindi (260 H/873 M) , seorang tokoh pemikir Islam klasik yang mengemukakan tentang adanya kecanggihan rasio manusia untuk mengungkap tabir rahasia segala sesuatu. Al Kindi mengambil paham rasioanlisme ini setelah ia banyak membaca buku-buku terjemahan pemikiran ahli-ahli filsafat Yunani kuno yang menganut paham Hellenisme (Logika metafisik) seperti Plato dan Aristoteles.5 Bagi Al Kindi, rasio atau akal pikiran berperanan sebagai instrumen untuk menuntun manusia dalam memahami makna sesuatu yang sedang diamatinya meskipun tidak melalui pancaindera. Fokus perhatiannya adalah menemukan kebenaran dimanapun dia berada.6 Sebuah kebenaran, bagaimanapun tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan penalaran. Selanjutnya pemikirannya ini diikuti oleh pemikir Islam yang lain seperti Abu Nasr Al Farabi (339 H/950 M), Ibu Sina (370 H/980 M) dan terakhir adalah Ibnu Rusydi (520 H/1126 M). Dari pemikir besar tersebut, dunia Islam menemukan kejayaan di bidang intelektual dan paham rasionalisme telah mengakar demikian kuat bagi I
kalangan pemikir Islam yang lain bahkan tersebar pula hingga ke Eropa. Namun sangat disayangkan, paham rasionalisme ini terhenti sampai pada masa tokoh intelektual Ibnu Rusydi sedangkan simbul rasionalisme pada kenyataannya telah berpindah ke Eropa Barat.
Setelah itu dunia Islam meninggalkan paham rasionalisme. Para intelektual Islam beralih untuk lebih banyak mendalami tentang spiritualitas dan transendensi ajaran-ajaran moral Islam. Tokoh intelektual Islam yang berpengaruh besar dan sebagai pelopor pemikiran ini adalah Imam Al Ghazali. Al Ghazali dengan menggunakan ketajaman pemikirannya menyerang paham rasioanlisme melalui karya monumentalnya yakni Thahafut al Falsifah, akibatnya ini menyebabkan tertutupnya pintu ijtihad bagi umat Islam dan telah berlangsung selama seribu tahun.Serangan serangan Al Ghazali terhadap rasionalisme telah membungkam setiap potensi intelektual umat Islam yang akan berkembang. Kemudian setelah itu dunia Islam mengalami masa stabilitas pemikiran dan dapat dikatakan sedang terjadi kemandekan kebebasan berfikir.
Kemandekan berfikir rasional di kalangan umat Islam sebenar tidak terlepas dari hasil akhir dari pertentangan pemikiran yang cukup lama antara golongan Mu’tazilah dan Golongan Asy’ari. Golongan Mu’tazilah adalah kelompok yang berpegang teguh pada mahzah rasional, sedangkan golongan Asy’ari menghendaki pemhaman ajaran keagamaan secara tekstual dalam menggunakan rujukan Al Qur’an. Disamping itu golongan pertama sangat mengagungkan kebebasan berfikir seluas-luasnya dalam menemukan hakekat kebenaran.. Sedangkan golongan kedua berusaha mengikutsertakan hati dan jiwa dalam memhami ayat-ayat Al Qur’an tanpa diimani oleh penalaran. Hasilnya adalah kalangan umat Islam lebih banyak mengikuti pemikiran Al Ghazali dan golongan Asyari. Kemudian para pemikir golongan Mu’tazilah seakan-akan menghilang dari dunia intelektual Islam.
Meskipun paham rasionalisme untuk berfikir filsafat telah mati menurut anggapan orang Barat (Ijtihad). Akan tetapi, tidak lama kemudian muncul seorang tokoh intelektual Islam yang juga sangat berpengaruh besar yakni Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir Islam yang banyak mengemukakan hukum-hukum filsafat sejarah dan hukum-hukum kemasyarakatan (Sosiologi), yang konon tidak pernah ditemukan sebelumnya oleh scholastik Barat. Itu artinya, dunia intelektual Islam tidaklah sepenuhnya mengalami kemandekan, akan tetapi tradisi intelektual masih terus berlangsung. Selanjutnya beberapa abad kemudian, muncul kembali tokoh pemikir Islam yang dianggap menghidupkan aliran pemikiran Mu’tazilah yakni Muhammad Abduh (1905) dan Muhammad Iqbal (1935) di Abad modern. Kedua pemikir ini menjadi pelopor kebangkitan pahamrasionalisme bagi intelektual Islam di zaman tehnologi sekarang ini. Usaha kedua pemikir Islam ini tak lain adalah untuk mendamaikan pertentangan pemikiran antara Golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ari.7
III. Al Qur’an Sumber rasionalisme
Persoalan rasionalisme pada dasarnya telah banyak dijawab oleh Al Qur’an. Umat Islam sebenarnya juga tidak menafikan kebenaran Al Qur’an bahwa umat Islam dapat menggunakan pemikirannya dalam memahami berbagai fenomena di sekitarnya. Ketika kalangan intelektual Barat seringkali menemukan kebingungan dan kekacauan pemikiran dalam memahami hakekat alam semesta, hal ini tidak terjadi bagi kalangan intelektual Islam yang dengan mudah mendapatkan rujukannya di dalam Al Qur’an. Rasioanalisme sendiri adalah tak lebih dari metodologi berfikir bagi kalangan intelektual Islam dan Al Qur’an adalah sumber utamanya, sekaligus muara ilmu pengetahuan Al Qur’an sebagai penuntun bagi rasionalisme dibagi menjadi dua kategori ayat, yaitu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas arti dan maknanya sebagaimana tertulis dan mudah dipahami secara langsung ketika membacanya. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang belum dapat dimengerti arti dan maknanya (yakni berupa simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan) ketika membacanya secara langsung. Dari ayat-ayat mutasyabihat inilah, umat Islam diajak untuk melakukan suatu pemikiran yang mendalam dan otomatis penggunaan metode rasional dihalalkan untuk memahami ayat-ayat tersebut, dengan syarat orang yang ingin memahaminya harus sudah memiliki kapasitas keilmuan dan keyakinan akan kebenaran Al Qur’an.8
Rasionalisme seringkali disinggung oleh Al Qur’an yaitu ketika mengajak agar manusia berfikir (tafakur) dalam memahami segala peristiwa kemanusiaan, gejala alam dan bahkan metafisika abstrak.9 Potensi akal yang dimiliki manusia dikatakan merupakan instrumen (alat) canggih untuk tidak menyia-nyiakan segala ciptaan Tuhan bagi kepentingan hidup manusia dalam membangun peradaban dunia. Meskipun akal dapat berfikir luas untuk memperoleh pengetahuan, akan tetapi Al Qur’an menegaskan bahwa terdapat banyak hal yang tidak dapat diketahui dan dijangkau oleh akal pikiran manusia.
Dalam perkataan lain Al Qur’an adalah objek berfikir luas selain mengandung ajaran pembinaan akhlak. Di dalam Al Qur’an, Allah akan memberikan penghargaan yang besar kepada para ilmuwan dan kaum yang mampu menggunakan akalnya ke dalam tingkatan derajat yang lebih tinggi. Apabila dibandingkan dengan golongan awam, kaum berakal dapat menyatakan argumentasi rasional dan dapat melepaskan diri dari taqlid (mengekor/mengikuti) begitu saja kepada suatu prinsip atau doktrin keagamaan tanpa memikirkan lebih panjang sebelumnya. Sedangkan ciri dari golongan awam adalah dalam banyak hal pengetahuannya terhadap masalah-masalah hakekat lebih bersifat dhahir (polos) atau membutuhkan ungkapan yang lebih sederhana. Justru dengan keyakinan jika ditambah dengan pemahaman rasional terhadap prinsip ajaran Islam akan semakin mempertebal keimanan seorang muslim dan tidak akan mendapatkan keraguan sama sekali.
Sebagai sumber utama bagi rasionalisme, tentu saja kandungan Al Qur’an tidak hanya sebatas pengetahuan tentang keagamaan saja (aqidah, Syariah dan akhlaq) akan tetapi banyak mengisyaratkan tentang filsafat dan teori-teori ilmu pengetahuan. Artinya, menempatkan Al Qur’an sebagai induk atau muara segala cabang ilmu pengetahuan, dan muatan kebenaran yang terkandung di dalamnya merupakan essensi dari segala sesuatu yang hendak dicapai oleh akal manusia.10 Hal ini akan memenuhi keinginan para penganut paham rasioanalisme di kalangan intelektual Islam yang tidak pernah puas akan pengetahuan yang sudah ada dan haus akan kegairahan untuk mencapai tingkatan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi.
IV. Penutup
Bahwasannya antara Al Qur’ an dan rasionalisme tidaklah bertentangan, bahkan Al Qur’an sendiri seringkali berbicara bahwa kaum rasionalislah yang mampu mempelajari hukum-hukum alam dan filsafat, dalam usahanya mencari dan menemukan Kebenaran. Al Qur’an pun sebenarnya menginginkan agar manusia memperhatikan segala sesuatu yang ada dan mengungkapkan yang masih rahasia di alam semesta dengan menggunakan akalnya, dan apabila pemikiran tidak mampu mencarikan jawabannya manusia sudah semestinya mengembalikannya kepada Al Qur’an. Dari segala sesuatu yang tidak dapat di cerna oleh akal manusia itulah, manusia akan mengakui adanya keterbatasan pemikiran yang dimilikinya. Al Qur’an memberikan pedoman bagi akal, hal mana yang dapat dikuasai oleh akal dan hal mana yang tidak dapat dikuasainya, khususnya pada ayat-ayat mutasyabihat.
Para Rasionalis dikalangan intelektual Islam sendiri pada dasarnya juga mengakui bahwa kebenaran yang telah dicapainya adalah kebenaran relatif dan tidak akan pernah dapat mencapai kebenaran tertinggi. Tradisi intelektual Islam sendiri hingga sekarang juga masih dalam ikhtiarnya untuk selalu membuka pintu ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan filsafat modern dalam rangka menemukan kebenaran. Al Qur’an bagi mereka adalah sumber utama yang dapat menuntun akal untuk menemukan kebenaran tersebut. Hakekat segala sesuatu akan dengan mudah dapat diungkapkan apabila kaum rasionalis berlandaskan pada Al Qur’an. Jadi, dalam hal ini rasionalisme bagi intelektual muslim merupakan metode berfikir yang canggih untuk mengungkapkan hakekat segala sesuatu, sedangkan Al Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan bagi manusia agar dapat memaknai hidupnya.
Wabillahit Taufik Wal Hidayah
--------------------------------------------------------------------------------
1 “ Dan sesungguhnya Al Qur’an itu ada dalam induk Al Kitab ( Lauhul Mahfuzh ) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi ( nilainya ) dan amat banyak mengandung hikmah. ( Surat Az-Zukhruf, ayat 4 )
2 Materi ‘Aql (akal) dalam Al Qur’an terulang sebanyak 49 kali. Kecuali satu, semuanya dalam bentuk fi’il mudhari, terutama yang bersambung dengan wawu jamaah, seperti bentuk ta’qilun dan ya’qilun. Kata kerja ta’qilun terulang sebanyak 24 kali dan kata kerja ya’ qilun terulang sebanyak 22 kali. Sedang kata kerja ‘aqala, na’qilu, dan ya qilu masing masing terulang terdapat satu kali. Lihat Dalam Yusuf Qardhawi., Al Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan ( Jakarta : Gema Insani, 1998 ) p. 19.
3 “… Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘ kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang orang yang berakal.” ( Surat Ali Imran, ayat 7)
4 Dalam arti sempit, rasionalisme berarti anggapan mengenai teori ilmu pengetahuan yang menekankan akal dan atau rasio, untuk membentuk pengetahuan. Lihat Van Peursen., Susunan Ilmu Pengetahuan; Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu ( Jakarta: Gramedia,1998 ). P. 79.
5 Al Kindi memberikan batasan filsafat adalah sebagai berikut : Filsafat adalah pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencapai kebenaran dan dalam praktek ialah menyesuaikan kebenaran. Pada akhir risalahnya, ia menyifati Allah dengan istilah ‘kebenaran’ , yang merupakan tujuan filsafat. Lihat dalam MM Syarif ( ed.)., Para Filofof Muslim ( Bandung: Penerbit Mizan, 1996) P. 11-28.
6 Dalam sebuah pernyataan yang terkenal dan sering diulang beberapa abad, yang mencirikan semua filsafat Islam, Al Kindi Menyatakan : “ Kita tidak akan pernah malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang bagi kita, sekalipun ia dibawa generasi baru dan orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran tidak ada nilai yang lebih tinggi dari pada kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak pernah merendahkan atau merendahkan diri yang mencapainya, tetapi baginya penghormatan dan penghargaan. Lihat Seyyed Hossein Nasr., Intelektual Islam ; Teologi, filsafat dan Gnosis ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) P.33.
7 Muhammad Abduh berhujjah bahwa antara ilmu dan amal tidak mungkin bertentangan. Ia bahkan berargumentasi bahwa Islamlah satu-satunya agama yang dengan konsisten menyeru kepada pemeluknya untuk menggunakan rasio dalam memahami alam. Lihat Nurcholis madjid (ed.)., Khazanah Intelektual Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1994 ) p. 57-60
8 Ayat-ayat Mutasyabihat ini baik dahulu, sampai kini dan untuk selamanya merupakan pendorong untuk berfikir dan mengajak manusia untuk menggunakan akalnya atau dengan kata lain membantu manusia dalam meniti jalan filosofis. Yusuf Musa., Al Qur’an dan filsafat ( Yogyakarta; Tiara Wacana, 1991) p. 29
9 Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis. Maka, seorang rasionalis adalah seseorang yayang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya sanggup menemukan kebenaran sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan Islam rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran, akan tetapi kebenaran-kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia. Maka menurut Islam sekalipu rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran, namun kebenaran yang relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (relevation) yang melahirkan agam-agama Tuhan, melalui nabi-nabi. Dalam Nucholis Majid., Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Jakarta; Penerbit Mizan, 1994) p. 181-182.
10 Ibid. Yusuf Qardhawi, p. 77. Radison seorang sarjana Barat berkata : Al qur’an adalah sebuah kitab suci yang mengandung rasionalisme yang demikian besar. Dalam Al Qur’an, Allah selalu menerapkan rasionalisme dalam berdialog dan menunjukkan bukti bukti. Bahkan Wahyu-wahyu yang biasanya amat tidak rasional dalam agama manapun yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul sepanjang sejarah dan terutama kepada penutup kepada sekalian rasul, Muhammad dimasukkan sebagai bukti dan alat untuk berdalil. Jark Pirk, Seorang sosiolog ahli dunia Timur Tengah, mengatakan bahwa Dia menemukan rasionalisme dalam Al Qur’an yang amat jelas, dalam setiap surat dan setiap ayat-ayatnya. Kesimpulan itu dia temukan setelah cukup lama menggeluti Al Qur’an.

0 comments:

Posting Komentar

News Prabuwanayasa. Diberdayakan oleh Blogger.